Tatakau Shisou chap 1 (1) B. Indonesia

Chapter 1 bagian 1 BOMB, A BOOK, AND A GREY TOWN
Diterjemahkan oleh I-Fun Novel




"Colio Tonies"

Seseorang menyebut dalam kegelapan.

Colio Tonies mengangkat wajahnya. Tanpa bisa melihat apapun, dia melepas pipinya dari lantai batu.

Dadanya sakit, dan suara angin melewati punggung setiap kali dia menarik napas. Bagian dalam mulutnya terasa panas, tertutup lendir kering. Dengan menggerakkan lidah, ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang terkelupas. Sangat menyakitkan. Namun, Colio tidak dalam keadaan yang bagus untuk peduli tentang hal itu.
Ketika ia mencoba menggerakkan tangannya untuk menyeka kotoran dari wajah, tak ada respon dari sana.

Lengannya telah terikat oleh tali basah dan lengket. Kedua tangannya hancur terkulai namun menghadap ke atas, ia tidak bisa menggerakkan bahkan satu jari.

"Colio Tonies. Apa para manusia itu?"

Suara seorang pria, tapi tidak ada sosok manusia di sekitar. Disebelah Colio, pada lantai batu terdapat gramofon antik dengan cakram tembaga yang berputar. Suara pria itu terdengar dari speaker benda ini.

Menghadap kesana, Colio menjawab.

"Manusia adalah favorit di antara para anak-anak Dewa. Mereka adalah mahkluk yang mampu menghubungkan cahaya dari Langit dan Bumi. Menggunakan cinta dan kebebasan, mereka menenun permadani kebahagiaan dengan kehidupan mereka"

Colio tidak lagi mengerti apa yang ia katakan. Dia hanya merasa harus mengatakan itu
.
Dia punya firasat belum makan apapun sejak siang hari sebelum kemarin. Kenangannya kabur, sehingga ia tidak bisa mengingat apakah ia benar-benar sudah makan atau tidak.

Pergelangan tangan yang terikat penuh luka. Kulitnya basah kuyup dengan keringat dan dagingnya mulai bernanah.

Dia tidak bisa merasakan jari-jarinya sendiri. Bahkan tidak tahu apakah dia sungguh memiliki jari-jari.

"Lanjutkan, Colio Tonies"

"Seorang manusia yang terluka harus dibantu. Seorang manusia yang menderita harus diselamatkan. Seorang manusia yang kesepian harus dicintai"

"Mengapa demikian?"

"Karena semua manusia dilahirkan untuk menjadi bahagia. Mereka terlahir untuk dicintai"

"Aku akan bertanya sekali lagi. Apa para manusia itu?"

"Mereka yang memiliki hak untuk mendapatkan semua kebahagiaan di dunia ini. Mereka yang akan mencintai, dicintai, puas, tidak akan menderita, dan mendapatkan kebahagiaan tertinggi untuk seluruh hidup mereka"

"Bagus"

Colio melanjutkan pembicaraannya dengan gramofon.

Isi pembicaraan itu sudah diputuskan dari awal. Dia tidak diizinkan untuk mengatakan hal selain apa yang telah diputuskan. Dia juga tidak diperbolehkan untuk memikirkan hal selain apa yang telah diputuskan. Colio tidak memiliki nilai bagi gramofon.

"Jadi, Colio Tonies. Kenapa dirimu bertindak seperti ini? "

"Karena Colio Tonies bukanlah manusia"

"Apa itu Colio Tonies?"

"Colio Tonies adalah bom"

"Colio Tonies adalah bom"

"Colio Tonies adalah bom"

Tiba-tiba, Colio menyadari seseorang sedang menatapnya. Pintu kamar batu yang hanya bisa diisi oleh dua orang telah terbuka, lalu seorang pria masuk.

Tulang kering kaki kanan Colio terasa sakit. Pria itu telah menginjak kakinya. Menghancurkannya sampai jatuh ke lantai batu, tulang-tulangnya berderit. Hanya ketika ia berpikir kakinya akan lepas dari lutut, kini pinggulnya yang ditendang. Tubuh Colio berguling di lantai seperti pensil. Dia dengan lemah mengangkat leher sambil berbaring.

Beberapa saat lalu, gramofon telah berhenti. Kali ini, seorang pria telah bertanya secara langsung menggantikan benda itu.

"Colio Tonies. Apa kau ini?"

"Colio Tonies adalah bom"

Jawabannya tampak membuat senang pria itu.

"Sebuah jawaban yang memuaskan"

Saat si pria berkata, ruangan menghujani Colio dengan cahaya. Dibutakan oleh sinar, dia mengerang.
"Sepertinya ini sudah cukup"

Kata pria itu. Apa sebenarnya yang cukup, Colio tidak mampu memahami. Tubuhnya terasa sakit dan lelah. Dia tidak ingin memikirkan apapun atau merasakan apapun.

"Colio Tonies. Aku akan memberitahu alasan dirimu terlahir"

Suaranya menjelaskan kepada Colio yang terbaring di lantai batu dingin.

"Kau dilahirkan untuk membunuh Hamyuts Meseta. Ulangi ucapanku, Colio Tonies"

Meskipun melelahkan dan sakit, Colio menerima perkataannya. Siapa itu Hamyuts Meseta? Kenapa ia harus dibunuh? Bagaimana aku akan membunuhnya? Ada segala macam hal yang dia tidak pahami, namun dia tidak keberatan.

"Colio Tonies lahir untuk membunuh Hamyuts Meseta"

Pria yang berdiri di samping Colio berkata.
 
"Sekali lagi, ulangi"

"Sudah ditetapkan untuk membunuh Hamyuts Meseta"

"Sekali lagi"

"Sudah ditetapkan untuk membunuh Hamyuts Meseta"

"Bunuh Hamyuts Meseta"
"Untuk membunuh Hamyuts Meseta"

Tali yang mengikat pergelangan tangan Colio telah tergerai. Merasakan sakit ketika kulitnya terhubung dengan udara di sekitar, Colio mengerutkan kening.

"Bunuh Hamyuts Meseta"

"Untuk membunuh Hamyuts Meseta"

Colio merangkak dan bangkit berdiri.

"Bunuh Hamyuts Meseta"

"Untuk membunuh Hamyuts Meseta"

Colio bergumam. gramofon sudah berhenti, orang itu telah pergi. Tidak ada yang berbicara dengannya lagi.

"Untuk membunuh Hamyuts Meseta"

Di dalam ruang kosong, Colio bergumam pada dirinya sendiri.

Itulah memori Colio Tonies yang paling awal.


☆☆☆☆


Angin datang bertiup dari suatu tempat. Hembusan yang berhenti beraroma debu. Colio Tonies terbangun oleh bau ini. Di hadapan wajahnya merupakan tempat tidur kayu yang berbau sama, serta seprai tipis tergantung di atasnya. Colio menyadari bahwa ia terbangun.

Diluar sedang cerah, menandakan pagi. Dibalik jendela kaca penuh embun, langit bahkan lebih tertutup dengan awan yang bisa di pandang.

Dia sudah tidak bermimpi dalam waktu yang lama.

Itu adalah mimpi dari memori Colio yang paling awal.

Untuk membunuh Hamyuts Meseta. Dari hari ia telah belajar kalimat itu, setengah tahun telah berlalu.
Colio membentangkan tubuhnya dalam kasur berdebu.

Berada di kamar sempit lantai dua pada penginapan kecil, tempat tinggal yang hanya memiliki tiga tempat tidur. Terdapat mayat ngengat pada lampu minyak tanah yang tergantung di langit-langit. Ruangan Colio penuh dengan jaring laba-laba.

"....Jika tidak menyentuhnya, takkan menyakitkan. Tapi kalau menggerakkan tubuh rasanya lain lagi, ini sakit"

Kata sebuah suara. Di sebelah kasur Colio, dua laki-laki sedang berbicara. Dia tahu kedua nama mereka. Relia Bookwatt dan Hyoue Janfus. Hyoue Janfus berbaring di tempat tidur, setengah telanjang, sementara Relia Bookwatt duduk di sampingnya. Terlihat seperti Relia sedang memandangi dada Hyoue.

"Apa menyakitkan ketika kau membungkuk ke depan?"
 
"Selalu sakit saat aku bergerak....di sini, lihatlah. Bernanah"

Hyoue mengerang kesakitan. Ketika Relia melihat itu, ia meringis.

"Ah, kau benar. Hal ini bernanah"

"Iya. Aku merasa aneh sejak semalam"

Kasur Relia rapi. Tampaknya mereka berdua sudah bangun lebih awal.

"Ada apa?"

Colio bertanya pada Relia.

"Hyoue dalam keadaan buruk"

Jelas Relia.

"Dia bernanah. Mungkin beberapa debu memasuki lubang di dadanya. Tapi sepertinya tidak terjadi kepadaku....Bagaimana denganmu, Colio?"

Saat ia mengatakan itu, Colio meletakkan tangan di dadanya sendiri. Dada yang tipis dan kurus sehingga ia bisa merasakan tekstur tulang rusuk.

Di tengah dadanya, agak ke kanan dari jantung---telapak Colio bisa merasakan sebuah batu besar.
Colio dengan hati-hati membelai batu yang tertanam dalam dirinya.

Karena memikirkan itu, ia merasa tidak nyaman. Dengan menekan batu dan merasakan tekanan pada paru-parunya, ia menjadi sesak napas.

"Aku pikir karena udara luar. Mungkin saja"

"Oh. Aku juga menduga begitu"

Mengatakan ini, Relia membuka kancing kemeja abu-abunya. Dia mengekspos dada yang seakan tidak sehat seperti Colio.

Di pusat tubuh, layaknya Colio, sebuah batu besar tertanam.

"Karena udara di sini buruk....Lihatlah, debu berkumpul antara batu dan daging. Kita harus menyeka ini"

Dalam rangka untuk mengubur batu di dalam, beberapa daging pada dada mereka telah tercungkil. Kulit terpotong seperti katak yang sudah dibedah, dan lubang sedang menganga disana. Beberapa rusuk telah dilenyapkan.

Setelah batu tertanam, mereka menutupi kulit yang robek terbuka dan menjerat batu ke daging dengan sekumpulan paku. Bentangan kulit mati sudah menghitam dan kering.

Celah antara kulit mati dan tulang rusuk, juga otot yang tidak berfungsi lagi membiarkan angin untuk masuk.
Sebuah batu coklat kemerahan seperti tanah liat tertanam di dalam. Ukurannya sekitar kepalan seseorang.
Kawat tembaga dengan jelas terlihat berada dipermukaan bagaikan pembuluh darah. Menumpuk bersama paku dan potongan logam di sekitarnya.

Sebuah tabung vakum melekat pada bagian bawah. Isinya bubuk hitam, yang merupakan mesiu dan bisa meledak hanya karena suhu kamar.

"Jika kau melakukan gerakan yang salah, itu akan meledak. Walaupun aku tidak berpikir akan terjadi sekarang, tapi...."

Relia berucap cemas sambil membelai batu miliknya. Colio dan Relia tahu batu seperti tanah liat yang diisi dengan bahan sangat eksplosif. Jika tabung vakum retak dan bubuk mesiu dinyalakan, segala sesuatu di dekatnya akan menjadi abu.

Relia memiliki bom tertanam di dalam dadanya.

"Sebaiknya kita berhati-hati. Jika salah satu dari kita meledak, kita semua akan ikut jatuh bersamanya"

Hyoue memberi peringatan. Tentu saja dadanya juga berisi bom yang sama dengan Relia.

"Ah, benar"

Colio yang mengatakan juga tak berbeda.

Ketiga orang yang memiliki bom dalam dada terlihat khawatir.

"Hyoue, apa masih sakit?"

Relia membelai bom milik orang didepannya. Hyoue mengerang seolah-olah hendak muntah.

"....Tapi, sudah agak baikan. Jika aku beristirahat sebentar, akan baik-baik saja"

"Aku mengerti. Baiklah, untuk sementara aku akan menyeka lukamu. Dan setelah itu...."

Mencoba untuk terus berbicara, perkataan Relia mendadak terhenti.

Colio tahu penyebabnya.

"Relia....'Setelah itu' tidaklah ada"

Jelas Colio. Ekspresi Relia tidak berubah.

"Oh, benar"

"Ayo kita cepat membunuh Hamyuts Meseta sebelum bom milikku rusak"

Hyoue mengatakan dengan kening berkerut.

"Betul sekali. Ayo kita cepat membunuh Hamyuts Meseta"

Colio mengulangi setelah dirinya. Relia juga ikut.

"Ayo kita bunuh Hamyuts Meseta"

"Ayo kita bunuh Hamyuts Meseta"

"Ayo kita bunuh Hamyuts Meseta"

Ketiga orang mengucapkannya berulang-ulang seakan telah menjadi paduan suara.

"Apa kau sudah tenang?"

Saat Relia bertanya, Hyoue mengangguk dan menurunkan ujung kemejanya.

Mereka duduk di kasur. Pada kamar dari penginapan murah ini, hampir tidak ada furnitur lain kecuali tempat tidur. Bahkan kursi ataupun meja tak dapat ditemukan

"Jika mulai bernanah lagi, usap lah segera"

Relia berucap.

"Baiklah"

Di antara mereka bertiga, Relia sementara yang bertindak sebagai seorang pemimpin.

Tidak ada alasan khusus---mungkin karena ia adalah yang tertua, atau karena memiliki pengetahuan lebih. Colio mengira dia berusia dua puluhan. Tapi itu tidaklah pasti.

Dengan mata tak kenal takut Relia dengan alami menjadi pemimpin mereka.

Hyoue lebih tua dari Colio, namun harusnya lebih muda dari Relia---sekitar tujuh belas atau lebih. Dia tidak punya masalah khusus sampai-sampai Colio kesulitan mengingat wajahnya yang mencolok. Lelaki ini memiliki kesan orang sakit selalu tampak menakutkan bahkan ketika hanya duduk.

Di antara ketiganya, Colio adalah yang termuda. Dia mungkin berusia sekitar lima belas tahun. Menjadi orang terpendek karena cara punggungnya membungkuk sambil berdiri.

Poni panjang menyembunyikan matanya dan rambut di belakang kepala mencapai tengkuk leher. Melihat dari samping, seolah-olah ia memiliki kain di kepalanya.

Wajah suram dan tak bernyawa seperti Hyoue. Hanya matanya yang diwarnai dengan sedikit cahaya gelap aneh.

Ketiga orang itu mengenakan celana berwarna khaki dan kemeja linen abu-abu. Karena tidak disetrika selama bertahun-tahun, pakaian menjadi kusut dan pudar.

Pada gantungan disamping tempat tidur, tiga jaket coklat pudar tergerai. Selain ukuran yang berbeda, ini adalah produk yang sama.

"Apa yang kita lakukan sekarang?"

Relia bertanya kepada penghuni ruangan.

"Kita akan membunuh Hamyuts Meseta"

Colio menjawab. Lalu dia bertanya lagi.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan untuk mencapai tujuan itu?"

"..."

Colio tidak memikirkan apapun.

"Untuk saat ini, kita hanya turis"

Hyoue pun berkata.

"Ayo kita pergi jalan-jalan dulu"

Colio dan Relia lalu saling memandang.

"Benar"

"Itu bagus"

Ketika mereka mengatakan persetujuan, ketiganya perlahan berdiri.

Barang bawaan mereka sudah ada di penginapan. Semuanya akan muat di dalam tas cokelat kecil untuk masing-masing orang.

"Haruskah kita membawa ini?"

Colio bertanya.

"Aku pikir kita hanya harus mengambil apa yang dibutuhkan saja"

Si pemimpin membalasnya.

"Benar"

Pada bagian dalam tas, rangkaian huruf bisa dilihat.

'Bunuh Hamyuts Meseta'.

Hal-hal seperti pakaian ganti, peta, buku harian, dompet, pena dan tinta.
Tertulis pada pegangan pena.

'Bunuh Hamyuts Meseta'.

Tertera pada peta dengan warna merah.

'Bunuh Hamyuts Meseta'.

Dia menggunakan buku harian setiap hari. Itu juga sama untuk Relia dan Hyoue. Buku harian mereka pada setiap tanggal terisi dengan hal yang sama.

'Hari ini, aku belum bisa membunuh Hamyuts Meseta'

Ada suatu kalimat pada halaman terakhir. Namun bukan ditulis oleh Colio.

'Hari ini, aku meledak dengan Hamyuts Meseta'

Sekarang ia mengeluarkan peta dan dompet. Dia tidak tahu bagaimana menggunakan apapun lagi.
"Bagaimana dengan pisau itu?"

"Aku tidak tahu, bawa saja"

Relia berkata.

Ada pisau tersembunyi dalam saku celananya. Colio menemukan benda itu. Dan bahkan pada bilahnya ini terukir.

'Bunuh Hamyuts Meseta'.

"Ayo pergi"

Si pemimpin memutuskan.

Ketiganya perlahan meninggalkan ruangan.

Mereka menjauh dari penginapan dan pergi ke kota.

Mata Colio mencerminkan langit kelabu putih kebiruan, serta kota kelabu hitam kebiruan.

Berada di sebuah kota yang dikenal sebagai Toatt Mining Town.

Dengan hanya 5000 orang yang tinggal di dalamnya, itu merupakan sebuah kota kecil.

Toatt Mining Town berada di tepi barat negara terbesar di dunia, Republik Ismo, dan terletak di tengah-tengah pegunungan Plote.

Kota ini dikelilingi oleh pegunungan besar yang memanjang dari utara ke selatan, berbatasan dengan Great Plains kering lalu ke barat, dan lautan yang luas disisi timur.

Selain kota pelabuhan di timur, tidak ada tempat yang di huni dalam radius seratus kilometer. Seolah-olah pencipta dunia ini, karena suatu kesalahan, menaruh Toatt Mining Town dalam wilayah antah-berantah.
Hanya ada satu alasan kota tercipta di tempat ini.

Itu karena disini memiliki tambang untuk menggali Buku-Buku.

Kebanyakan orang yang tinggal di Toatt Mining Town bekerja untuk menambang Buku dan tinggal bersama Buku. Kota ini didukung oleh Buku-Buku.

Toatt Mining Town sudah ramai di pagi hari.

Kawanan orang keluar rumah mereka, menuju pertambangan.

Membawa alat-alat kerja seperti kapak dan bor dalam ransel di bahu mereka. Tubuh orang-orang yang berjalan di sekitar kota sudah tertempeli bau debu dan minyak mesin.

Mereka menuju tambang untuk mengarungi tanah dan bebatuan dalam mencari Buku. Jika berhasil memperoleh beberapa, mereka akan mampu untuk berpesta bir dan mengasapi daging babi pada malam hari. Dan kalau tidak menemukan Buku-Buku, mereka mungkin hanya akan menyeruput sup kacang.

Sebagian besar pria yang berjalan di sekitar kota adalah sejenis penambang. Colio dan yang lainnya lewat di antara bau minyak mesin dan batubara.

Banyak rel melintasi tengah-tengah kota. Melewati mereka adalah kereta tambang yang tertumpuk dengan arang. Terdapat empat orang sedang mendorong kereta, menuju ke pegunungan.

Dari sisi berlawanan kereta tambang yang sarat dengan Buku, terdapat suara melengking saat melintas di sepanjang rel.

Orang-orang yang mendorong gerobak bernyanyi bersama-sama.

"Kami adalah penambang. Tikus tanah teman-teman kami, dan akar adalah sekutu kami. Apakah tambang itu surga atau neraka? Pustakawan Bersenjata menakutkan berada di belakang kami. Jika kami menemukan Buku yang gadis cintai, ayo kita berikan ciuman...."

Kereta tambang itu telah didorong melewati Colio dan yang lain lalu menghilang.

Ujung rel mengarah ke stasiun di pintu masuk kota. Buku-Buku kemudian dibawa dengan kereta api ke kota tetangga, dan dari sana perahu akan melanjutkan menuju Perpustakaan.

Colio dan sisanya datang ke Toatt Mining Town menggunakan kereta api itu dua hari yang lalu.

"Hei, apa itu?"

Hyoue bertanya.

Dia menunjuk ke arah sekelompok cerobong menjulang dari sisi gunung.

Karena jauh, mereka tidak bisa melihat dengan sangat baik, tetapi tampaknya cerobong-cerobong asap itu
sangat besar. Semuanya menumpahkan banyak kepulan asap keabu-abuan sambil menutupi langit
.
"Asap yang mengerikan"

Kata Hyoue. Memang, kota ini memiliki bau abu di mana pun kau berada. Langit memutih, namun seluruh kotanya redup.

"Di dalam tambang, mereka membakar setumpuk bara. Menggali dengan mesin, mencari Buku dalam tanah"

Relia berucap.

"Mungkinkah tak ada siapapun yang sedang dalam kegiatan disekitar cerobong-cerobong itu?"

"Entahlah....mungkin, orang-orang Perpustakaan terlalu sibuk"

Si pemimpin berkomentar.

Sebuah kota bara, mesin uap, debu, asap dan Buku.

Itulah kesan Colio tentang Toatt Mining Town.
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Ke Ke Halaman Utama Tatakau Shisou
Ke Bagian selanjutnya

Comments

Popular posts from this blog

Kusoge Online (BETA) Bahasa Indonesia

Short Story: [Katanya Kalau Perjaka Sampai Umur 30 Kamu Bisa Jadi Penyihir!]